Sebagian ada yang meyakini bahwa masih diperkenankan untuk makan atau
minum meskipun telah diteriakkan adzan. Dalil yang digunakan adalah
beberapa hadits yang dianggap mereka shahih. Namun ada dalil shorih (tegas) dari Al Qur’an yang masih membolehkan makan hingga masuk fajar shodiq. Artinya, setelah fajar shodiq tidak
diperkenankan untuk makan atau minum sama sekali. Bagaimana
mengkompromikan kedua macam dalil yang ada? Lalu apakah dalil yang
membicarakan hal tersebut shahih?
Hadits yang Membicarakan Masih Bolehnya Makan Ketika Adzan
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan
sendok terakhir masih ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkan
sendok tersebut hingga dia menunaikan hajatnya hingga selesai.” (HR. Abu Daud no. 2350).
Di antara ulama yang menshahihkan hadits ini adalah Syaikh Al Albani rahimahullah. Sehingga dari hadits
ini dipahami masih bolehnya makan dan minum ketika adzan dikumandangkan.
Namun yang lebih tepat, hadits ini adalah hadits dho’if (lemah) yang menyelisihi dalil yang lebih shahih. Jika kita melihat dari dalil-dalil yang ada, wajib menahan diri dari makan dan minum ketika adzan berkumandang.
Hadits di atas dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/ 433/ 510), Abu Daud
(2350), Ad Daruquthni dalam sunannya (2/ 165), Al Hakim dalam Mustadrok
(1/ 203) dan Al Baihaqi dalam Al Kubro (4/ 218) dari jalur:
Hammad bin Salamah, dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqomah, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah. Al Hakim menshahihkan hadits ini, sesuai syarat Muslim kata beliau dan Adz Dzahabi pun menyetujuinya. Namun yang tepat tidak seperti pernyataan mereka.
Sanad riwayat Abu Daud muttashil (bersambung) dan perowinya tsiqoh (terpercaya) selain Muhammad bin ‘Amr. Dia adalah shoduq (jujur), namun terkadang wahm (keliru). Hadits ini dishahihkan oleh Al Hakim dan dikatakan oleh Ibnu Taimiyah bahwa sanadnya jayyid sebagaimana dalam Syarh Al ‘Umdah (1/ 52). Abu Hatim Ar Rozi sendiri mengatakan bahwa jalur dari Hammad dari Muhammad bin ‘Amr, “Laysa bi shohih” (tidaklah shahih). Akan tetapi Abu Hatim tidak menjelaskan sebab kenapa disebutdho’if.
Telah diperselisihkan mengenai sanad hadits ini pada Hammad bin Salamah sebagai berikut:
1. Dari Hammad bin Salamah dari ‘Ammar bin Abi ‘Ammar dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’. Dan ada tambahan,
“Dan muadzin mengumandangkan adzan ketika muncul fajar.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/ 510) dan Al Baihaqi dalam Al Kubro (4/ 218) dari jalur: Rouh bin ‘Ubadah dari Hammad bin Salamah.
Disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Al ‘Ilal sama dengan jalur yang disebutkan sebelumnya dan dinukil dari ayahnya di mana ia berkata, “Dua hadits tersebut tidaklah shahih. Adapun hadits ‘Ammar dari Abu Hurairah hanyalah mauquf (berhenti sampai sahabat).” Ringkasnya, dari jalur ini berarti hadits tersebut hanyalah perkataan sahabat, bukan qoul (sabda) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Dari Hammad bin Salamah dari Yunus dari Al Hasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mursal (dari tabi’in langsung Nabi tanpa disebutkan sahabat). Hadits mursal di antara hadits yang dho’if.
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/ 423): telah berkata pada kami Ghossan (Ibnu Ar Robi’), telah berkata pada kami Hammad bin Salamah.
Tidak ragu lagi perselisihan pada Hammad bin Salamah dalam hadits ini berpengaruh dalam keshahihan hadits.
Hadits di atas memiliki beberapa penguat tetapi juga dho’if (lemah).
Taruhlah hadits tersebut shahih, maka telah dijawab oleh Al Baihaqi dalam Al Kubro (4/ 218), di mana beliau berkata:
“Jika hadits ini shahih, maka dipahami oleh mayoritas ulama bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui kadang muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar (shubuh) dan beliau minum dekat dengan terbitnya fajar. Sedangkan perkataan perowi bahwa muadzin mengumandangkan adzan ketika muncul fajar dipahami bahwa hadits tersebut sebenarnya munqothi’ (terputus dalam sanad) di bawah Abu Hurairah. Atau boleh jadi hadits tersebut dimaksudkan untuk adzan kedua. Sedangkan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (piring) masih ada di tangannya …”, maka yang lebih tepat hadits ini dimaksudkan untuk adzan pertama sehingga sinkronlah antara hadits-hadits yang ada.” (Sunan Al Baihaqi, 4/ 218).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Bilal biasanya mengumandangkan adzan di waktu malam (belum terbit fajar shubuh). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Makan
dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan. Beliau
tidaklah mengumandangkan adzan hingga terbit fajar (shubuh).” (HR. Bukhari no. 1919 dan Muslim no. 1092).
Kata “حَتَّى”dalam hadits tersebut bermakna akhir makan adalah ketika adzan shubuh berkumandang. Sehingga ini menunjukkan larangan makan dan minum ketika telah terdengar adzan, bahkan hal ini berlaku secara mutlak. Inilah yang lebih tepat dan haditsnya lebih shahih dari hadits yang kita kaji di awal. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan dalam Al Majmu’,
“Jika fajar terbit dan di dalam mulut terdapat makanan, maka
muntahkanlah. Jika makanan tersebut dimuntahkan, maka puasanya sah. Jika
terus ditelan, batallah puasanya. ” (Al Majmu’, 6: 308).
Begitu pula Imam Nawawi mengatakan,
“Jika seseorang mendapati terbit fajar shubuh dan makanan masih ada di mulutnya, maka muntahkanlah dan sempurnakanlah puasanya. Jika makanan tersebut ikut tertelan setelah ia mengetahui fajar shubuh sudah terbit, puasanya batal. Hal ini tidak diperselisihkan oleh para ulama. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari. Makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Di dalam kitab shahih juga terdapat beberapa hadits yang semakna dengannya.”
Lalu setelah itu Imam Nawawi menjelaskan hadits yang kita bahas dan beliau pun menukil perkataan Al Baihaqi yang kami bawakan di atas. (Lihat Al Majmu’, 6: 311-312).
Ada riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (3/ 348) dari jalur Ibnu
Luhai’ah dari Abu Az Zubair bahwa ia berkata, “Aku pernah bertanya pada
Jabir mengenai seseorang yang ingin puasa sedangkan bejana masih ada di
tangannya untuk dia minum lalu ia mendengar adzan. Maka Jabir pun
berkata: Pernah kami membicarakan hal ini pada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, beliau pun bersabda, “Minumlah.”
Hadits ini dho’if karena alasan Ibnu Luhai’ah.
Begitu pula riwayat lain yang menuai kritikan,
Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir (2/ 175) dari jalur Al Husain bin Waqid
dari Abu Gholib dari Abu Umamah, ia berkata, “Iqomah shalat telah
dikumandangkan dan bejana masih berada di tangan ‘Umar. Lantas ‘Umar
berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku meminumnya?” “Iya, minumlah”,
jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam sanad hadits ini terdapat Al Husain bin Waqid. Imam Ahmad telah mengingkari sebagian haditsnya karena dia di antara perowi mudallis sebagaimana yang mensifatinya adalah Ad Daruquthni dan Al Kholil dan dalam sanad ini beliau memakai ‘an-‘an. Sedangkan Abu Gholib –sahabat Abu Umamah- didho’ifkan oleh Ibnu Sa’ad, Abu Hatim, An Nasai, dan Ibnu Hibban. Sedangkan Ad Daruquthni mentsiqohkannya. Ibnu Ma’in berkata bahwa haditsnya itu sholih (baik) sebagaimana disebutkan dalam Tahdzibul Kamal (34: 170). Ibnu Hajar telah meringkas mengenai perkataan-perkataan ini dalam At Taqrib (664), beliau berkata, “Ia shoduq (jujur), namun kadang keliru.”
Sebagaimana perkataan Abu Hatim Ar Rozi di awal bahwa hadits yang kita kaji saat ini tidaklah shahih. Dari segi matan (teks hadits) pun munkar karena menyelisihi dalil Al Qur’an,
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang)
malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah Ta’ala membolehkan
makan sampai terbitnya fajar shubuh saja, tidak boleh lagi setelah itu.
Dan terbitnya fajar shubuh diikuti dengan adzan shubuh dengan sepakat
ulama sebagaimana kata Ibnu Taimiyah dalam Ikhtiyarot. Hadits tersebut menyelisihi hadits,
“Makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan
adzan. Beliau tidaklah mengumandangkan adzan hingga terbit fajar
(shubuh).” (HR. Bukhari no. 1919 dan Muslim no. 1092). Adzan Ibnu
Ummi Maktum adalah akhir dari bolehnya makan dan minum, setelah itu
tidak diperkenankan lagi. Oleh karenanya, jumhur (mayoritas) ulama tidak
mengamalkan hadits yang membolehkan makan dan minum setelah terdengar
adzan shubuh.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam Tahdzib As Sunan mengenai beberapa salaf yang berpegang pada tekstual hadits Abu Hurairah “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan hajatnya”. Dari sini mereka masih membolehkan makan dan minum ketika telah dikumandangkannya adzan shubuh. Kemudian Ibnul Qayyim menjelaskan, “Mayoritas ulama melarang makan sahur ketika telah terbit fajar. Inilah pendapat empat imam madzhab dan kebanyakan mayoritas pakar fiqih di berbagai negeri.” (Hasyiyah Ibnil Qoyyim ‘ala Sunan Abi Daud, Ibnul Qayyim, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 6/341)
Namun sayang seribu sayang, kebanyakan pemuda saat ini tidak mengetahui penjelasan ini dan malah seringnya meneruskan makan dan minum ketika telah terdengar adzan karena menganggap demikianlah yang dimaksud dalam hadits.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
sumber : http://muslim.or.id
Hadits yang Membicarakan Masih Bolehnya Makan Ketika Adzan
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
Di antara ulama yang menshahihkan hadits ini adalah Syaikh Al Albani rahimahullah. Sehingga dari hadits
ini dipahami masih bolehnya makan dan minum ketika adzan dikumandangkan.
Namun yang lebih tepat, hadits ini adalah hadits dho’if (lemah) yang menyelisihi dalil yang lebih shahih. Jika kita melihat dari dalil-dalil yang ada, wajib menahan diri dari makan dan minum ketika adzan berkumandang.
Hukum status hadits
Hammad bin Salamah, dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqomah, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah. Al Hakim menshahihkan hadits ini, sesuai syarat Muslim kata beliau dan Adz Dzahabi pun menyetujuinya. Namun yang tepat tidak seperti pernyataan mereka.
Sanad riwayat Abu Daud muttashil (bersambung) dan perowinya tsiqoh (terpercaya) selain Muhammad bin ‘Amr. Dia adalah shoduq (jujur), namun terkadang wahm (keliru). Hadits ini dishahihkan oleh Al Hakim dan dikatakan oleh Ibnu Taimiyah bahwa sanadnya jayyid sebagaimana dalam Syarh Al ‘Umdah (1/ 52). Abu Hatim Ar Rozi sendiri mengatakan bahwa jalur dari Hammad dari Muhammad bin ‘Amr, “Laysa bi shohih” (tidaklah shahih). Akan tetapi Abu Hatim tidak menjelaskan sebab kenapa disebutdho’if.
Telah diperselisihkan mengenai sanad hadits ini pada Hammad bin Salamah sebagai berikut:
1. Dari Hammad bin Salamah dari ‘Ammar bin Abi ‘Ammar dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’. Dan ada tambahan,
وَكَانَ الْمُؤَذِّنُ يُؤَذِّنُ إِذَا بَزَغَ الْفَجْرُ
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/ 510) dan Al Baihaqi dalam Al Kubro (4/ 218) dari jalur: Rouh bin ‘Ubadah dari Hammad bin Salamah.
Disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Al ‘Ilal sama dengan jalur yang disebutkan sebelumnya dan dinukil dari ayahnya di mana ia berkata, “Dua hadits tersebut tidaklah shahih. Adapun hadits ‘Ammar dari Abu Hurairah hanyalah mauquf (berhenti sampai sahabat).” Ringkasnya, dari jalur ini berarti hadits tersebut hanyalah perkataan sahabat, bukan qoul (sabda) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Dari Hammad bin Salamah dari Yunus dari Al Hasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mursal (dari tabi’in langsung Nabi tanpa disebutkan sahabat). Hadits mursal di antara hadits yang dho’if.
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/ 423): telah berkata pada kami Ghossan (Ibnu Ar Robi’), telah berkata pada kami Hammad bin Salamah.
Tidak ragu lagi perselisihan pada Hammad bin Salamah dalam hadits ini berpengaruh dalam keshahihan hadits.
Hadits di atas memiliki beberapa penguat tetapi juga dho’if (lemah).
Taruhlah hadits tersebut shahih, maka telah dijawab oleh Al Baihaqi dalam Al Kubro (4/ 218), di mana beliau berkata:
وَهَذَا إِنْ صَحَّ فَهُوَ
مَحْمُولٌ عِنْدَ عَوَامِّ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّهُ -صلى الله عليه
وسلم- عَلِمَ أَنَّ الْمُنَادِىَ كَانَ يُنَادِى قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ
بِحَيْثُ يَقَعُ شُرْبُهُ قُبَيْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ وَقَوْلُ الرَّاوِى
وَكَانَ الْمُؤَذِّنُونَ يُؤَذِّنُونَ إِذَا بَزَغَ يُحْتَمَلُ أَنْ
يَكُونَ خَبَرًا مُنْقَطِعًا مِمَّنْ دُونَ أَبِى هُرَيْرَةَ أَوْ يَكُونَ
خَبَرًا
عَنِ الأَذَانِ الثَّانِى وَقَوْلُ النَّبِىِّ -صلى الله عليه
وسلم- :« إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ ».
خَبَرًا عَنِ النِّدَاءِ الأَوَّلِ لِيَكُونَ مُوَافِقًا لِمَا
“Jika hadits ini shahih, maka dipahami oleh mayoritas ulama bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui kadang muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar (shubuh) dan beliau minum dekat dengan terbitnya fajar. Sedangkan perkataan perowi bahwa muadzin mengumandangkan adzan ketika muncul fajar dipahami bahwa hadits tersebut sebenarnya munqothi’ (terputus dalam sanad) di bawah Abu Hurairah. Atau boleh jadi hadits tersebut dimaksudkan untuk adzan kedua. Sedangkan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (piring) masih ada di tangannya …”, maka yang lebih tepat hadits ini dimaksudkan untuk adzan pertama sehingga sinkronlah antara hadits-hadits yang ada.” (Sunan Al Baihaqi, 4/ 218).
Hadits Shahih: Stop Makan Ketika Adzan Berkumandang
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ بِلاَلاً كَانَ
يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – «
كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ، فَإِنَّهُ
لاَ يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ »
Kata “حَتَّى”dalam hadits tersebut bermakna akhir makan adalah ketika adzan shubuh berkumandang. Sehingga ini menunjukkan larangan makan dan minum ketika telah terdengar adzan, bahkan hal ini berlaku secara mutlak. Inilah yang lebih tepat dan haditsnya lebih shahih dari hadits yang kita kaji di awal. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan dalam Al Majmu’,
إذا طلع الفجر وفى فيه طعام فليلفظه فان لفظه صح صومه فان ابتلعه افطر
Begitu pula Imam Nawawi mengatakan,
أن من طلع الفجر وفى فيه طعام
فليلفظه ويتم صومه فان ابتلعه بعد علمه بالفجر بطل صومه وهذا لا خلاف فيه
ودليله حديث ابن عمر وعائشة رضي الله عنهم أن رسول الله صلي الله عليه وسلم
قال ” ان بلالا يؤذن بليل فكلوا واشربوا حتى يؤذن ابن أم مكتوم ” رواه
البخاري ومسلم وفى الصحيح أحاديث بمعناه
“Jika seseorang mendapati terbit fajar shubuh dan makanan masih ada di mulutnya, maka muntahkanlah dan sempurnakanlah puasanya. Jika makanan tersebut ikut tertelan setelah ia mengetahui fajar shubuh sudah terbit, puasanya batal. Hal ini tidak diperselisihkan oleh para ulama. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari. Makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Di dalam kitab shahih juga terdapat beberapa hadits yang semakna dengannya.”
Lalu setelah itu Imam Nawawi menjelaskan hadits yang kita bahas dan beliau pun menukil perkataan Al Baihaqi yang kami bawakan di atas. (Lihat Al Majmu’, 6: 311-312).
Atsar Sahabat yang Menuai Kritikan
أخرجه أحمد 3/348 من طريق ابن
لهيعة، عن أبي الزبير قال : سألت جابراً عن الرجل يريد الصيام ، والإناء
على يده ليشرب منه ، فيسمع النداء ؟ قال جابر : كنا نتحدث أن النبي –صلى
الله عليه وسلم- قال : ليشرب ” .
Hadits ini dho’if karena alasan Ibnu Luhai’ah.
Begitu pula riwayat lain yang menuai kritikan,
أخرجه ابن جرير 2/175 من طريق
الحسين بن واقد، عن أبي غالب، عن أبي أمامة قال : أقيمت الصلاة والإناء في
يد عمر ،قال : أشربها يا رسول الله ؟ قال : نعم ، فشربها “.
Dalam sanad hadits ini terdapat Al Husain bin Waqid. Imam Ahmad telah mengingkari sebagian haditsnya karena dia di antara perowi mudallis sebagaimana yang mensifatinya adalah Ad Daruquthni dan Al Kholil dan dalam sanad ini beliau memakai ‘an-‘an. Sedangkan Abu Gholib –sahabat Abu Umamah- didho’ifkan oleh Ibnu Sa’ad, Abu Hatim, An Nasai, dan Ibnu Hibban. Sedangkan Ad Daruquthni mentsiqohkannya. Ibnu Ma’in berkata bahwa haditsnya itu sholih (baik) sebagaimana disebutkan dalam Tahdzibul Kamal (34: 170). Ibnu Hajar telah meringkas mengenai perkataan-perkataan ini dalam At Taqrib (664), beliau berkata, “Ia shoduq (jujur), namun kadang keliru.”
Kesimpulan
Sebagaimana perkataan Abu Hatim Ar Rozi di awal bahwa hadits yang kita kaji saat ini tidaklah shahih. Dari segi matan (teks hadits) pun munkar karena menyelisihi dalil Al Qur’an,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى
يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ
الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ، فَإِنَّهُ لاَ يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam Tahdzib As Sunan mengenai beberapa salaf yang berpegang pada tekstual hadits Abu Hurairah “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan hajatnya”. Dari sini mereka masih membolehkan makan dan minum ketika telah dikumandangkannya adzan shubuh. Kemudian Ibnul Qayyim menjelaskan, “Mayoritas ulama melarang makan sahur ketika telah terbit fajar. Inilah pendapat empat imam madzhab dan kebanyakan mayoritas pakar fiqih di berbagai negeri.” (Hasyiyah Ibnil Qoyyim ‘ala Sunan Abi Daud, Ibnul Qayyim, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 6/341)
Namun sayang seribu sayang, kebanyakan pemuda saat ini tidak mengetahui penjelasan ini dan malah seringnya meneruskan makan dan minum ketika telah terdengar adzan karena menganggap demikianlah yang dimaksud dalam hadits.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
sumber : http://muslim.or.id
0 komentar:
Posting Komentar