Rabu, 28 September 2011

Makna hamdalah

Makna Alhamdulillah
Alhamdu = pujian terhadap suatu kebaikan yang didasari oleh ikhtiar.
Allah memiliki prestasi yang tak mungkin disamai oleh manusia. Allah SWT dipuji atas keindahan nama-namaNya dan kebaikan perbuatanNya. Dalam Qur’an pujian terhadap Allah seperti dalam QS. 14: 39, QS. 27: 15 dan 93.
Alasan Allah dipuji:
- Allah Maha Pembuat Prestasi [40:62]
- Allah Maha Indah dalam nama-namaNya [20: 8, QS 7:180]
- Allah maha baik dalam perbuatannya [32:7)
- Allah mencipta segala sesuatu berdasarkan pengetahuan iman kehendaknya [ 20: 111]

Makna Robbul’ alamin
• Rabb = Pemilik yang mengatur urusan hambaNya .
• Al-’Alamin= apa yang diketahui, berarti alam manusia dan jin dan kelompok-kelompok mereka 17. 80 dan 3: 42] .
• Sekurang-kurangnya harus ada 4 kata sekaligus untuk dapat menterjemahkan Rabb secara tepat dan sempurna, yaitu:
1. Allah sebagai Pencipta [2: 164]
Manusia tidak mencipta, ia hanya merekayasa, membuat dan menyusun. Manusia membuat sesuatu karena diilhami oleh fenomena ciptaan Allah, contoh helikopter yang diilhami oleh capung, sistem radar yang diilhami oleh cara kelelawar terbang di gua gelap. Sekalipun ia merekayasa atau menyusun bentuk baru pasti bahan bakunya diambil dari ciptaan Allah juga. A11ah sebagai pencipta menantang manusia untuk menciptakan lalat, dalam QS.15:73.
2. Allah sebagai Pemilik [14:2]
Siapa yang mencipta pasti memiliki. Aksioma ini tidak berlaku bagi manusia, tapi berlaku mutlak bagi Allah SWT, karena Allah SWT mencipta atas iradat dan kehendakNya sendiri. Allah Pencipta dan otomatis Allah sebagai Pemiliknya.
3. Allah sebagai Pemelihara [15:9]
Allah memiliki sesuatu yang ia ciptakan sendiri, oleh karena itu Ia tidak akan lalai untuk menjaga dan memeliharanya.
4. Allah sebagai Penguasa [15:16-27]
Allah adalah sebagai Pencipta, Pemilik dan sekaligus Pemelihara atas alam semesta ini, tentu saja Dia adalah Penguasa mutlak atas semua yang ada di dalamnya. Apabila ada satu saja urusan atau aturan yang dilakukan atau diberlakukan oleh manusia secara nyata-nyata bertentangan dengan aturanNya, berarti manusia telah subversif kepadanya. Nauzu billaahi min dzalik!
Referensi
• Paket BP NurulFikri, Setetes Basmalah dan Hamdalah dalam Lautan Al-Fatihah
• Allamah, Thabathaba’i Tafsir AI- Mizan, Mengupas Surat Al-Fatihah, CV Firdaus

Makna basmalah

Pendahuluan
Ayat Basmalah termasuk Surat Al-Fatihah. Hadits, dari ad-Da’ru Quthni dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Jika kalian membaca Surat AI-Fatihah, hendaklah kalian membaca bismillahirahmaanirrahiim, karena ia termasuk ke dalam surat Al-Fatihah. Sedangkan Surat Al-Fatihah terdiri dari 7 ayat, dan bismillahirrahmaanirrahiim termasuk ke dalam saIah satu ayatnya”.
Makna Bismillah .
• Preposisi “Bi” = aku memulai.
• AL-Ism = Nama, menunjuk pada sesuatu yang dinamai .
• Allah = nama Tuhan, berasal dari kata al-Ilah
Bismillah memiliki dua makna :
1. Sebagai kalimat IZIN.
Bismillah bukan sebagai penukar kenikmatan, contohmya makan nasi dengan membaca bismillah akan sama nikmatnya dengan makan nasi tanpa baca bismillah, tapi bismillah merupakan kalimat izin bagi hamba Allah yang merasa hidupnya hanya sekedar “menumpang”, karena sesungguhnya semua yang ada di atas dunia ini milik Allah dan manusia diberi kenikmatan untuk memakai fasilitas Allah tsb.
2. Sebagai kalimat PENGAKUAN OTORITAS.
Yaitu rengakuan otoritas bagi hamba Allah yang menyadari bahwa sesungguhmya yang memiliki wewenang otoritas hanyalah Allah. Manusia hanya sebagai wakil Allah di muka bumi ini, bukan sebagai penguasa. Bila seseorang mengucapkan bismillahirrahmaanirrahim, ia telah menandai kehambaannya dengan nama Allah, ia mengokohkan jiwanya–yang dinisbahkan kepada hakikat kehambaan–dengan salah satu dari tanda-tanda Allah (Thabathabai: 21).

Ma’rifatul Rasul

Makna Risalah dan Rasul
• Risalah: Sesuatu yang diwahyukan A11ah SWT berupa prinsip hidup, moral, ibadah, aqidah untuk mengatur kehidupan manusia agar terwujud kebahagiaan di dunia dan akhirat.
• Rasul: Seorang laki-laki (21:7) yang diberi wahyu oleh Allah SWT yang berkewajiban untuk melaksanakannya dan diperintahkan untuk menyampaikannya kepada manusia.
Pentingnya iman kepada Rasul
• Iman kepada para rasul adalah salah satu Rukun Iman. Seseorang tidak dianggap muslim dan mukmin kecuali ia beriman bahwa Allah mengutus para rasul yang menginterprestasikan hakekat yang sebenarnya dari agama Islam, yaitu Tauhidullah .
• Juga tidak dianggap beriman atau muslim kecuali ia beriman kepada seluruh rasul, dan tidak membedakan antara satu dengan yang lainnya. (Al-Asyqor:56)
Tugas para rasul
1. Menyampaikan (tablig) [5:67, 33:39]. Yang disampaikan berupa:
• Ma’rifatullah [6:102] (Mengenal hakikat Allah) .
• Tauhidullah [21:25] [Mengesakan Allah] .
• Basyir wa nadzir [6:48] (Memberi kabar gembira dan peringatan)
2. Mendidik dan Membimbing [62:2]
Sifat-sifat para rasul
1. Mereka adalah manusia (17:93-94,8:110]
2. Ma’shum [terjaga dari kesalahan] [3:161, 53:1-4]
3. Sebagai suri teladan [33:2l, 6:89-90]
Referensi
• Kelompok Studi Al-Ummah, Aqidah Seorang Muslim, hal. 60-71
• Al-Asyqor, Dr. Limar Sulaiman, Para Rasul dan Risalahnya, Pustaka Mantiq

Ma’rifatullah

Makna Ma’rifatullah

• Ma’rifatullah berasal dari kala ma’rifah dan Allah. Ma’rifah berarti mengetahui, mengenal. Mengenal Allah bukan melalui zat Allah tetapi mengenal-Nya lewat tanda-tanda kebesaranNya (ayat-ayatNya).
Pentingnya Mengenal Allah
• Seseorang yang mengenal Allah pasti akan tahu tujuan hidupnya (QS 51:56) dan tidak tertipu oleh dunia .
• Ma’rifatullah merupakan ilmu yang tertinggi yang harus difahami manusia (QS 6:122). Hakikat ilmu adalah memberikan keyakinan kepada yang mendalaminya. Ma’rifatullah adalah ilmu yang tertinggi sebab jika difahami memberikan keyakinan mendalam. Memahami Ma’rifatullah juga akan mengeluarkan manusia dari kegelapan kebodohan kepada cahaya hidayah yang terang [6:122] .
• Berilmu dengan ma’rifatullah sangat penting karena:
a) Berhubungan dengan obyeknya, yaitu Allah Sang Pencipta.
b) Berhubungan dengan manfaat yang diperoleh, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan, yang dengannya akan diperoleh keberuntungan dan kemenangan.



Pendidikan islam

I. Pendahuluan
Islam diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Untuk mengenalkan Islam ini diutus Rasulullah SAW. Tujuan utamanya adalah memperbaiki manusia untuk kembali kepada Allah SWT. Oleh karena itu selam kurang lebih 23 tahun Rasulullah SAW membina dan memperbaiki manusia melalui pendidikan. Pendidikanlah yang mengantarkan manusia pada derajat yang tinggi, yaitu orang-orang yang berilmu. Ilmu yang dipandu dengan keimanan inilah yang mampu melanjutkan warisan berharga berupa ketaqwaan kepada Allah SWT.
Manusia mendapat kehormatan menjadi khalifah di muka bumi untuk mengolah alam beserta isinya. Hanya dengan ilmu dan iman sajalah tugas kekhalifahan dapat ditunaikan menjadi keberkahan dan manfaat bagi alam dan seluruh makhluk-Nya. Tanpa iman akal akan berjalan sendirian sehingga akan muncul kerusakan di muka bumi dan itu akan membahayakan manusia. Demikian pula sebaliknya iman tanpa didasari dengan ilmu akan mudah terpedaya dan tidak mengerti bagaimana mengolahnya menjadi keberkahan dan manfaat bagi alam dan seisinya.
Sedemikian pentingnya ilmu, maka tidak heran orang-orang yang berilmu mendapat posisi yang tinggi baik di sisi Allah maupun manusia. (QS. Al Mujadilah (58) : 11)
Bahkan syaithan kewalahan terhadap orang muslim yang berilmu, karena dengan ilmunya, ia tidak mudah terpedaya oleh tipu muslihat syaithan.
Muadz bin Jabal ra. berkata: “Andaikata orang yang beakal itu mempunyai dosa pada pagi dan sore hari sebanyak bilangan pasir, maka akhirnya dia cenderung masih bisa selamat dari dosa tersebut namun sebaliknya, andaikata orang bodoh itu mempunyai kebaikan dan kebajikan pada pagi dan sore hari sebanyak bilangan pasir, maka akhirnya ia cenderung tidak bisa mempertahankannya sekalipun hanya seberat biji sawi.”
Ada yang bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Ia menjawab, “Sesungguhnya jika orang berakal itu tergelincir, maka ia segera menyadarinya dengan cara bertaubat, dan menggunakan akal yang dianugerahkan kepadanya. Tetapi orang bodoh itu ibarat orang yang membangun dan langsung merobohkannya karena kebodohannya ia terlalu mudah melakukan apa yang bisa merusak amal shalihnya.”
Kebodohan adalah salah satu faktor yang menghalangi masuknya cahaya Islam. Oleh karena itu, manusia butuh terapi agar menjadi makhluk yang mulia dan dimuliakan oleh Allah SWT. Kemuliaan manusia terletak pada akal yang dianugerahi Allah. Akal ini digunakan untuk mendidik dirinya sehingga memiliki ilmu untuk mengenal penciptanya dan beribadah kepada-Nya dengan benar. Itulah sebabnya Rasulullah SAW menggunakan metode pendidikan untuk memperbaiki manusia, karena dengan pendidikanlah manusia memiliki ilmu yang benar. Dengan demikian, ia terhindar dari ketergelinciran pada maksiat, kelemahan, kemiskinan dan terpecah belah.

Sabtu, 24 September 2011

Istiqomah, Istikharah dan Istighfar

Bumi yang kita tempati adalah planet yang selalu berputar, ada siang ada malam. Roda kehidupan dunia juga tidak pernah berhenti, kadang naik kadang turun. Ada suka ada duka. Ada senyum ada tangis. Kadangkala dipuji tapi pada suatu saat kita dicaci. Jangan harapkan ada keabadian perjalanan hidup. Oleh sebab itu agar tidak terombang ambing dan tetap tegar dalam menghadapi segala kemungkinan tantangan hidup kita harus memiliki pegangan dan amalam dalam hidup. Salah satu pegangan dan amalan penting yang diberikan agama kita untuk menghadapi kehidupan ini adalah Istiqomah, Istikharah dan Istighfar.

1.        Istiqomah, yaitu kokoh dalam dalam aqidah dan konsisten dalam beribadah. Begitu pentingnya Istiqomah ini sampai Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa
sam berpesan kepada seseorang seperti dalam hadits berikut:
عن أبي سفيان بن عبد الله رضي الله علنه قال: قلت يا رسول الله، قل لي فى الإسلام قولا لا أسأله عنه أحدا غيرك، قال: قل آمنت بالله ثم استقم (رواه مسلم)
Dari Abu Sufyan bin Abdillah Radhiallahu ‘anhu berkata: Aku telah berkata, “wahai rasulullah katakanlah kepadaku pesan dalam Islam sehingga aku tidak perlu berkata pada orang lain selain engkau. Nabi menjawab,”katakanlah aku telah beriman kepada Allah kemudian beristiqomahlah”.

Orang yang istiqomah selalu kokoh dalam aqidah dan tidak goyang keimanan bersama dalam tantangan hidup. Sekalipun dihadapkan pada tantangan hidup, ibadah tidak ikut redup, kantong kering atau tebal, tetap memperhatikan haram halam, dicaci dipuji, sujud pantang berhenti, sekalipun ia memiliki fasilitas, ia tidak tergoda melakukan kemaksiatan.

Orang seperti itulah yang dipuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-qura’an surat fusilat ayat 30

. إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمْ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengataka:”tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhakan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengetakan):”janganlah kamu merasa takut, dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah dengan syurga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.

Amal Manusia Yang Paling Dicintai Allah

Amal manusia yang paling dicintai Allah, merupakan ada beberapa pokok yang paling utama. Amal Manusia Yang Paling Dicintai Allah memang sering kita jumpai dalam kehidupan dan setiap nafas kita sehari hari. Orang yang paling bahagia adalah orang yang menjadi kekasih Allah. Seorang hamba yang menjadi kekasih Allah pasti akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Amal saleh merupakan fondasi utama yang akan mengantarkan kita menjadi kekasih-Nya. Lalu bagaimana caranya agar ibadah yang kita lakukan bisa mengantarkan pada cinta Allah SWT? Paling tidak ada lima Amal Manusia Yang Paling Dicintai Allah yang harus kita lakukan, yaitu :
Pertama
Ibadah dengan penuh cinta, khusuk dan ihklas. Cinta manusia kepada Allah adalah puncak cinta manusia yang paling bening dan jernih. Cinta sebagai media untuk mengikat atau menghubungkan hamba dengan Allah. Adanya kerinduan ingin bertemu dengan Allah bukan hanya dengan berkomunikasi dalam bentuk salat, doa, zikir dan membaca Al Quran tetapi diwujudkan juga dalam sikap istiqamah atau konsisten dalam berpegang teguh pada ajaran Islam.
Rasulullah SAW mengingatkan: “Seorang hamba tidak disebut beriman kecuali bila aku lebih dia cintai daripada anaknya, orang tuanya dan manusia seluruhnya.” (HR Bukhari).
Kedua
Amal saleh secara maksimal sesuai dengan kemampuan diri seseorang. Seorang pengusaha tidak mungkin sukses tanpa mengalami rintangan. Seorang pelajar tidak mungkin menjadi ilmuwan tanpa melalui tahap pendidikan dan ujian. Begitu pula dengan surga. Seorang hamba yang berniat ingin meraih kenikmatan surga, tentu saja harus melewati tahapan ujian dari Allah.
Ketiga
Mujahadah, yakni bersungguh-sungguh melakukan amal saleh sehingga setan tidak memiliki peluang untuk menggelincirkan manusia ke dalam kesesatan. Allah SWT akan memberikan petunjuk ke jalan yang diridoi-Nya kepada orang yang ibadahnya disertai mujahadah.
Sifat mujahadah ini tampak jelas pada Rasulullah SAW yang selalu melakukan salat malam hingga kedua tumitnya bengkak. Ketika itu, Aisyah RA bertanya: “Mengapa engkau lakukan hal ini (salat malam), bukankah Allah SWT sudah mengampuni dosamu yang sudah lalu dan yang akan datang?” Rasulullah SAW bersabda: “Bukankah sepantasnya aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?” (HR Bukhari dan Muslim).
Keempat
Sabar ketika beramal. Ibadah apa pun, salat, puasa, zakat, haji, salat malam maupun ibadah lainnya, hendaknya dilaksanakan dengan sabardengan hati yang lapang.
Kelima
Berjamaah dalam melakukan amal saleh. Sebuah peribahasa menyebutkan: “Seekor harimau tidak akan pernah menerkam kambing yang sedang berkelompok.” Peribahasa itu menunjukkan, musuh takut akan perlawanan yang dilakukan secara berkelompok. Begitu juga setan. Ia akan kesulitan menggelincirkan manusia dalam kesesatan jika ibadah selalu dikerjakan secara berjamaah. Apalagi, ibadahnya disertai dengan keikhlasan yang murni karena Allah SWT.
“Tidaklah tiga orang penghuni desa atau penghuni pegunungan yang tidak mendirikan salat berjamaah kecuali mereka telah dikuasai oleh setan. Karena itu, hendaknya kamu melakukan salat dengan berjamaah karena harimau hanya mau menangkap kambing yang sedang sendirian.” (HR Abu Daud dan Nasa’i).
Semoga Allah SWT memberi kekuatan kepada kita untuk beramal sesuai hati kita. Amin.

Rabu, 21 September 2011

Beramal Selagi Mampu


Harapan, musibah dan ajal.
Manusia memiliki harapan dan keinginan untuk memperoleh segala fasilitas kehidupan dunia yang mempesona dan kenikmatannya yang menggoda, karena Allah telah menjadikan dunia ini dengan segala isinya sebagai hiasan indah yang menarik hati manusia yang memandangnya. Allah berfirman:
(إِنَّا جَعَلْنَا مَاعَلَى اْلأَرْضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً ) الكهف:7
Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah diantara mereka yang terbaik perbuatannya. (QS. 18:7)
Rasulullah saw bahkan memperumpakan dunia dengan buah-buahan yang manis dan dedaunan yang hijau, beliau bersabda:
( إن الدنيا حلوة خضرة وإن الله مستخلفكم فيها فينظر كيف تعملون) رواه مسلم
“Sesungguhnya dunia ini manis dan hijau dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian khalifah-Nya di dunia ini lalu Ia akan melihat bagaimana kalian beramal”
Harapan dan keinginan manusia untuk meraih keindahan dunia karena itu merupakan fitrahnya yang diakui oleh Allah. Allah berfirman:
(زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَاْلأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَئَابِ) العمران : 14
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. 3:14)
Memang tidak ada menusia yang tidak memiliki harapan dan angan-angan untuk meraih kenikmatan dunia, siapa manusia yang tidak mencintai wanita?, siapa manusia yang tidak mencintai anak-anak sebagai buah hatinya?, siapa manusia yang tidak mencintai harta sebagai sarana penunjang kehidupannya?, hanya orang-orang yang tidak mengertilah yang mengharamkan atas dirinya keindahan dunia ini, karena itu Allah mencela mereka yang bersikap seperti ini, Ia berfirman:
(قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللهِ الَّتِى أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ اْلأَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ) الأعراف:32
Katakanlah:"Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah di keluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik". Katakanlah:"Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. 7:32)

Menjaga Lisan


Setiap gerak-gerik dan ucapan manusia selalu tidak lepas dari pengawasan Allah   dan dicatat oleh malaikat Raqib dan ‘Atid, firman Allah :
“ Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi”. (QS 89:14).
Karena selalu diawasi, bagaimanakah manusia menjaga lisan itu sesuai dengan fitrahnya ?


1. Selalu berkata yang baik.


Selalu berkata yang baik harus menjadi sikap hidup bagi orang yang beriman. Dari Abu Hurairah t Rasulullah   bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْلِيَصْمُتْ
“ Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat maka hendaklah ia berkata baik atau diam”. (Bukhari dan Muslim).
Menurut Imam Syafi’i apabila seseorang hendak berbicara pikirkanlah sebelumnya, seandainya sudah jelas kemashlahatannya maka ucapkanlah namun apabila ragu dengan perkataannya itu jangan disampaikan hingga jelas kemashlahatannya.


2. Tidak berdusta.


Para ahli bahasa telah bersepakat bahwa dusta atau bohong ialah menyampaikan informasi (laporan, data, pertanggung jawaban) yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Firman Allah :
” Amat besar kebencian disisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu katakan”. (QS 61:3).
Rasulullah  bersabda:
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا, وَمَنْ كَانَ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ  كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنَ الّنِفَاقِ حَتَّى يَدَعَهُنَّ: إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ, وَإِذَا حَدَثَ كَذَبَ, وَإِذَاعَاهَدَ غَدَرَ, وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ ( متفق عليه )
Empat perkara apabila ada pada diri seseorang, maka ia adalah seorang munafik tulen, dan barang siapa yang ada dalam dirinya salah satunya, maka ia telah memiliki salah satu sifat kemunafikan sampai ia meningalkannya : Apabila diberi kepercayaan ia berkhianat, apabila berbicara ia bohong, apabila berjanji ia melanggarnya, dan apabila berbantahan (bermusuhan ) ia berbuat fasik. (muttafaqun ‘alaih ).


3. Tidak menggunjing.

Firman Allah  yang artinya:
“ Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain”.(QS 49:12).
Sedangkan yang dimaksud dengan menggunjing ialah seperti yang disabdakan oleh Rasulullah  :
اَلْغِيْبَةُ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ
“Ghibah ialah engkau menyebut saudaramu tentang apa-apa yang tidak disenanginya”. (H.R Muslim).
Menurut An-Nawawi, bahwa yang dimaksud oleh hadits tersebut diatas ialah menyebut kekurangan dan keburukan seseorang dalam hal dunianya, agamanya, akhlaknya, istri dan anaknya, suaminya, hartanya, rumah tangganya, pakaiannya, gaya jalannya, pembantu rumah tangganya, baik menyebut dengan lisan maupun dengan bahasa isyarat kedipan mata, tangan dan sebagainya.


4. Tidak menghina sesama muslim.

Sebagai orang yang beriman kita tidak boleh menghina, mencela dan melaknat seseorang, sebagaimana firman Allah I  yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum memperolok kaum yang lain, karena boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka yang mengolok-olok, dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain, karena boleh jadi wanita-wanita (yang diolok-olok itu) lebih baik dari wanita yang mengolok-olok, dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah panggilan buruk sesudah iman dan barang siapa tidak bertaubat maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.(QS 49 :11).
Adapun yang dimaksud dengan mencela diri sendiri pada ayat di atas ialah mencela sesama muslim. Sebab orang Islam itu bersaudara seperti satu badan, jadi menghina seorang muslim berarti menghina diri sendiri.
Sedangkan panggilan buruk yang dimaksud ialah memanggil seseorang dengan panggilan/gelar yang tidak ia sukai, seperti pangilan kepada seseorang yang sudah beriman dengan kata-kata: Hai fasik, dan kata-kata sejenisnya.


5. Tidak berkata kotor.

Yaitu perkataan yang tidak sopan, tidak pantas didengar dan jorok, hal tersebut bisa mengakibatkan orang yang mendengarnya menjadi tersinggung dan sakit hati. Allah I tidak menyukai orang yang berkata-kata kotor. Sabda Rasulullah :
إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْفَاحِشَ الْمُتَفَحِّشَ
 Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang kotor perkataannya menyebabkan orang lain berkata kotor pula”. (Lihat : Ibnu Hibban 5177, Mawaridu Al-Dzam’an 1566, Ahmad 6514, Kasyfu Al-Khafa 736, Hadits Hasan).


6. Menjauhi pertengkaran dan perdebatan

Dalam suatu riwayat, Nabi  pernah mendatangi sahabat beliau yang sedang berdebat, seraya beliau menegur dan melarang perbuatan itu, lalu beliau bersabda :
مَنْ تَرَكَ اْلكَذِبَ وَهُوَ بَاطِلٌ بُنِيَ لَهُ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ وَمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ   وَهُوَ مُحِقٌّ  بُنِيَ لَهُ فِي وَسَطِهَا وَمَنْ حَسُنَ خُلُقُهُ بُنِيَ لَهُ فِي أَعْلاَهَا
“Barang siapa yang meninggalkan dusta sedang dia dalam keadaan salah, dibangunkan )(oleh Allah) I untuknya (sebuah rumah) dipinggir surga. Dan barang siapa meninggalkan perdebatan sedangkan dia dalam keadaan benar, dibangunkan (oleh Allah) untuknya dipertengahannya dan barangsiapa yang baik akhlaknya dibangunkan untuknya (rumah)  yang paling tinggi”. (H.R Tirmidzi dan berkata: Hadits Hasan).
Apalagi pada masa kini, pertengkaran dan perdebatan semakin meningkat dan banyak terjadi baik di pasar, di kantor, maupun di perusahaan. Karena itu bagi orang-orang yang niat hidupnya untuk ibadah kepada Allah  , sudah tentu ia akan menghindari dan menjauhkannya baik dalam keadaan bersalah ataupun benar.
Wallahua’lam bisshawab. .
Sumber : -Al-Adzkaar - Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi Ad-Dimisyqa kitab Hifdzulisaan.
180 sifat tercela dan terpuji oleh Muhyiddin Ibrahim.

Menyembunyikan tangisan


Ini adalah bab yang sangat bermanfaat sekali –dengan izin Allah- karena ia menyelamatkan seseorang dari penyakit riya` yang merupakan pembatal amalan yang dilakukan pada saat itu, dan juga meyelamatkan seseorang dari sifat ujub (merasa bangga dengan diri sendiri) yang bisa menyeret pelakunya pada sifat sombong.
Selamatnya agama seseorang tidak bisa diganti dengan apapun  (artinya tidak ada yang lebih berharga dari seleamatnya agama – amalan) .
Abu Wahab al-Marwazi berkata, “Aku pernah menanyakan tentang penyakit ujub kepada Ibnul Mubarak? Ia pun menjawab, “Ujub itu adalah engkau melihat pada dirimu ada sesuatu yang tidak dimiliki orang lain. aku tidak mengetahui sesuatu yang paling buruk bagi kaum muslimin selain sifat 'ujub.”

Oleh karena itu sangat besar sekali pahala menyembunyikan sebagian amal-amal shalih.

Berusahalah untuk menyembunyikan tangisan anda dengan semampunya. Jika anda tidak mampu, maka jangan sampai anda lupa membaca doa,
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu dengan sesuatu pun, sementara aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampunan-Mu dari perbuatan syirik yang tidak aku sadari.”.

Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari tidak ada naungan, kecuali naunganNya.” Di dalamnya disebutkan, “Dan laki-laki yang menyendiri mengingat Allah, kemudian air matanya bercucuran.” (Muttafaq ‘Alaih).

bagaimana dosa-dosa kecil menjadi besar?


Setan akan mengajak manusia dari perkara yang paling besar yaitu mempersekutukan Allah. Kalau tidak bisa dengan perkara yang lebih kecil lagi seperti dosa-dosa besar, dan begitu seterusnya sehingga hal sekecil apapun tidak pernah dilewatkan oleh setan. Oleh karena itu Allah I memerintahkan kita agar menjadikan setan sebagai musuh, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُوا حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ
Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. (QS. 35:6)
Kita mungkin bisa menghindari dari dosa besar seperti zina, mencuri, dan dosa-dosa besar lainnya, tapi tidak bisa menghindari dosa kecil hanya karena alasan dosanya kecil. Padahal kalau kita melihat dalil-dalil syar’i, beberapa dosa tersebut dapat menjadi besar. Dan memang inilah cara-cara setan dalam memperdaya umat ini. Oleh karena itu begitu lihainya syetan menggunakan kesempatan. Allah I memerintahkan kepada kita agar menjauhkan diri dari segala yang dilarang, yang besar maupun yang kecil. Allah  berfirman yang artinya:
Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah;. (QS. 59:7)
Bagaiman dosa-dosa kecil menjadi besar?
1. Dilakukan terus-menerus
    Misalnya seorang laki-laki memandang wanita dan ini adalah zina mata, namun zina mata lebih kecil dari zina kemaluan. Tapi dengan melakukannya terus-menerus maka dia akan menjadi besar . Sebab tidak ada dosa kecil kalau dilakukan terus-menerus, sebagaimana dikatakan seorang salaf:’ Tidak ada yang namanya dosa kecil kalau dilakukan terus-menerus dan tidak ada dosa besar apabila diiringi dengan taubat”.
    2. Karena diremehkan
      Sesungguhnya perbuatan dosa itu apabila dianggap berat oleh seorang hamba akan menjadi kecil di sisi Allah I. Karena anggapan sebuah dosa sebagai dosa yang besar berpangkal dari hati yang benci kepadanya dan berupaya menghindarinya.
      3. Apabila seorang hamba merasa senang melakukannya.
        Perasaan bangga gembira dan senang terhadap dosa, menjadikan dosa tersebut menjadi besar. Ketika rasa senang kepada dosa kecil sudah mendominasi diri seseorang, maka menjadi besarlah dosa kecil tersebut, dan besar pula pengaruhnya untuk menghitamkan hatinya. Sampai-sampai ada yang merasa bangga karena bisa melakukan sebuah dosa, padahal kegembiran pada sebuah dosa lebih besar dari dosa itu sendiri. Allah I berfirman:
        إَنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ ءَامَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ
        Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat.Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. 24:19)
        Misalnya seperi orang yang berkata: Tidakkah kamu tahu bagaiman aku membuntuti fulan dan berhasil melihatnya” atau ucapan-ucapan dan perbuatan lainnya yang menunjukkan sikap bangga dan senang atas perbuatan dosa. Maka semua itu menjadikan dosa yang semula kecil menjadi besar.
        4. Apabila menyepelekan tabir Allah I yang menutupi kesalahannya, kasih sayang-Nya dan keramahan-Nya
          Sikap santainya dalam melakukan dosa, tidak adanya rasa takut kepada Allah I dan pengawasan-Nya. Perasaan aman dari siksa Allah adalah gamnbaran dari menyepelekan tabir Allah. Dia tidak sadar bahwa perbuatannya itu mendatangkan murka Allah. Ibnu Abbas t berkata: Wahai orang yang berdosa, jangan merasa aman dari akibat buruknya. Tatkala suatu dosa diikuti oleh sesuatu yang lebih besar dari dosa, jika kamu melakukan dosa, tanpa merasa malu terhadap pengawas yang ada di kanan kirimu, maka kamu berdosa, dan menyepelekan dosa itu lebih besar dari dosa itu sendiri,…, kegembiraanmu dengan dosa ketika kamu sudah melakukannya, itu lebih besar dari dosa itu sendiri, kesedihanmu atas suatu dosa ketika ia lepas darimu (tidak dapat melaksanakannya, maka itu lebih besar dari dosa itu sendiri. Kekhawatiranmu terhadap angin ketika ia menggerakkan daun pintumu pada saat kamu sedang melakukan dosa serta hatimu tidak pernah risau dengan pengawasan Allah kepadamu, maka itu lebih besar dari dosa itu sendiri”.

          Mujaharah
            Yakni apabila seseorang melakukan dosa dengan terang-terangan di depan umum atau dengan menceritakannya kepada orang lain padahal jika ia tidak menceritakannya orang lain tidak ada yang tahu, kecuali dia dengan Rabbnya. Dengan sikap ini berarti ia telah mengundang hasrat orang lain untuk melakukan dosa tersebut dan secara tidak langsung ia telah mengajak orang lain untuk ikut melakukannya. Dalam hal ini ia telah melakukan dua hal sekaligus yaitu dosa itu sendiri ditambah mujaharahnya, sehingga dosanya pun menjadi besar. Rasulullah e bersabda:
            كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِيْنَ وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحُ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ فَيَقُوْلُ يَا فُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ
            “Setiap umatku dapat diampuni dosa-dosanya kecuali orang yang mengekspos dosa-nya. Contoh dari mengekspos dosa adalah seorang yang melakukan dosa dimalam hari, kemudian pada pagi harinya, padahal Allah I telah menutupi dosanya, ia mengatakan:Wahai fulan, tadi malam saya telah melakukan demikian dan demikian. Di malam hari Allah I telah menutupi perbuatan dosanya, namun di pagi harinya justru ia sendiri yang menyiarkannya”. (HR: Bukhari 5721, Baihaqi 17373, Dailami 4795)
            6. Jika dilakukan oleh orang yang menjadi panutan
            Seorang yang diangap panutan, baik ia seorang ulama atau seorang direktur perusahaan, kepala sekolah atau siapa saja yang mempunyai pengaruh, sehingga apabila ia melakukan suatu dosa orang-orang akan mengikutinya, maka dosa yang dilakukannya itu menjadi besar. Sebab dosa-dosa orang yang mengikutinya akan menjadi tanggungannya. Rasulullah e bersabda:
            وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يُنْقَصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
            Barangsiapa yang membuat dalam Islam tradisi yang buruk, maka dibebankan kepadanya dosa yang buruk itu dan dosa orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun. (HR: Muslim 1017, Ahmad 19179-19197)
            Rasulullah e ketika menulis surat kepada Najasyi ( Asyhamah bin Al-Aabjar) Raja Habasyah (Ethiopia), Juraij bin Mata yang bergelas Muqauqis raja Mesir, Kisra raja Persia, Heraqlius raja Romawi dalam rangka mengajak mereka ke dalam Islam. Di antara isi surat tersebut disebutkan bahwa jika mereka menolak, maka mereka akan menanggung dosa semua kaumnya. Hal ini tiada lain karena mereka adalah panutan bagi kaum mereka. Jika mereka masuk Islam maka dengan sendirinya mereka juga akan masuk Islam, walaupun tidak semuanya.
            Ini adalah sebagian yang menyebabkan dosa kecil menjadi besar, kalau ada di antara kita yang pernah salah karena pernah melakukan hal yang tersebut, hendaklah kita bertaubat kepada Allah I, janganlah kita menunda-nunda karena tidak ada yang bisa menjamin kalau kita masih akan hidup sampai esok hari, sebab berapa banyak tanaman yang rusak sebelum keluar tunasnya. Semoga Allah memberikan kepada kita taufik-Nya.

            Maraji’:
            1. Saatnya bertaubat, Muhammad bin Husain Yakqub, Darul haq.
            2.Bahaya Dosa dan perngaruhnya, Muhammad bin Ahmad Rasyid Ahman, At-Tibyan.
            3. Minhajul Qashidin, Ibnu Quddamah, Al-Kautsar.
            4. Raudhatul Anwar FiSirati An-Nabi Al-Mukhtar.

            Mengingat kematian


            Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya, pasal hadits-hadits para nabi, bab kematian Nabi Musa  , dari Abu Hurairah   :
            “ Malaikat maut diutus kepada Nabi Musa (dengan menyerupai manusia) membawa kabar kematian. Maka Nabi Musa menampar mukanya tepat pada matanya. Lalu malaikatpun kembali kepada Allah dan berkata: ya Robbi Engkau telah mengutusku kepada orang yang tidak menginginkan kematian. Allah menjawab: baiklah katakan pada Musa agar meletakan tangannya pada tubuh sapi dan katakan bahwa usianya akan ditambah sebanyak bulu sapi yang tertutup oleh telapak tangannya itu,  1 helai  sama dengan 1 tahun. Seteleh pesan itu disampaikan Nabi Musa u berkata: ya Robbi setelah itu apa? Allah  menjawab: “setelah itu adalah kematian”. Akhirnya Nabi Musapun berkata: kalau demikian halnya matikanlah  saya sekarang”.
            Jadi masalahnya bukan bagaimana caranya kita menghindari kematian itu. Karena kematian itu pasti datang, baik ditunggu ataupun dilupakan, baik dalam keadaan genting ataupun aman, dalam keadaan senang atau sedih. Tapi masalahnya adalah bagaimana keadaan kita ketika kita sudah masuk ke alam barzakh (kubur) kemudian masuk ke alam Akhirat. Apakah kita akan masuk ke dalam golongan orang-orang mu’min atau sebaliknya masuk ke dalam golongan orang-orang berdosa dan kafir.
            Dari Barra bin Azib (t), bahwa Rasulullah  bersabda dalam hadits yang panjang:
            “ Sesungguhnya hamba yang mu’min jika sudah dalam detik-detik meninggalkan dunia menuju Akherat, ia akan didatangi oleh serombongan Malaikat yang banyaknya sejauh mata memandang, wajah mereka bersinar laksana matahari, mereka membawa kain kafan dari Surga yang amat wangi. Lalu turunlah malaikat maut untuk mencabut ruhnya. Lalu dikeluarkanlah ruh itu dengan amat mudah seperti mengeluarkan setetes air dari mulut teko. Kemudian para malaikat pun segera mengambil ruh itu dan meletakkannya di atas kain kafan, maka tersebarlah aroma wewangian yang luar biasa. Lalu rombonganpun membawa ruh itu ke atas langit sampai bertemu dengan Allah I. Setiap malaikat langit yang berpapasan  bertanya kepada mereka: Ruh siapakah gerangan yang harum ini? rombonganpun menjawab: ini adalah ruh fulan bin fulan dengan menyebut nama panggilannya yang paling bagus ketika ia di dunia. Lalu seluruh malaikat langitpun ikut mengiring ruh yang baik ini sampai bertemu dengan Rabbul Izzah. Ketika sampai, Allah I berfirman: tulislah hambaku ini ke dalam golongan orang-orang yang tinggal di Surga ‘Illiyyin” (surga yang tinggi). Lalu rombongan-pun kembali ke bumi dan memasukan kembali ruh itu ke dalam jasadnya ketika ia sudah berada di lubang lahad …...
            Adapun hamba yang kafir saat kematiannya tiba, datanglah rombongan malaikat yang bermuka hitam, banyaknya sejauh mata memandang, mereka membawa kain lap kumal dan berbau busuk. Lalu turunlah malaikat maut, mengumpulkan nyawanya dari seluruh anggota tubuh, lalu keluar dengan menarik ruhnya sekaligus seperti mencabut kawat berduri dari kapas yang basah,. Maka rombongan malaikatpun dengan kasar meletakan ruh itu ke atas kain busuk tadi sehingga tersebarlah bau busuk yang menyengat. Lalu rombonganpun membawa ruh tersebut ke atas langit. Setiap kali berpapasan dengan malaikat, malaikat itu menghindar sambil bertanya: ruh siapakah gerangan yang amat bau ini ? rombongan pun menjawab : ini adalah ruh si fulan bin fulan dengan menyebut namanya yang paling jelek waktu di dunia .Ketika sampai di langit pertama pintu pun di ketuk, namun malang malaikat penjaga langit tidak mengizinkannya untuk menghadap Rabbul Izzah. Lalu Rasululah membaca ayat:
            “Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan berlaku sombong terhadapnya tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak akan masuk Syurga hingga seekor unta dapat melewati lubang jarum, dan demikianlah kami membalas orang-orang  jahat” . (Surat Al-A’rof:40)
            Maka rombonganpun melemparkan ruh itu dan menghempaskannya ke bawah dengan sekeras-kerasnya. Lalu Rasulullahemembaca Firman Allah :
            ”“Dan barang siapa yang menyekutukan Allah maka sesungguhnya itu seperti dilemparkan dari atas langit sehingga disambar burung atau diterbangkan angin ke tempat yang dalam”.(Surat Al-Haj:31). (Hadits riwayat Ahmad, Abu Daud dan Nasai).
            Demikianlah perjalanan ruh setiap anak manusia setelah kematiannya. Hanya ada dua kemungkinan, menjadi ruh yang baik atau sebaliknya menjadi ruh yang buruk. Dan bagi orang yang mu’min kematian adalah merupakan ‘bel istirahat’ dari kepenatan kehidupan dunia. Sekarang ia beristirahat di alam barzah yang luas terbentang menunggu Hari Kiamat dengan tidur pulas sehingga tidak merasakan kejemuan menunggu.
            Sementara ruh bagi orang yang kafir dan banyak dosa , maka kematiannya merupakan bagaikan ‘sirine kebakaran’. Ia akan memulai hari-harinya dengan kesibukan-kesibukan menghadapi  siksa Allah yang tidak pernah ada hentinya. Firman Allah I :
            “Kepada mereka dinampakkan api Neraka setiap pagi dan petang. Dan pada hari Kiamat (diperintahkan kepada Malaikat): masukanlah Fir’aun dan pengikutnya ke dalam azab yang sangat keras”. (Surat Al-Mu’min:46)

            Mengingat Mati adalah obat mujarab
            Banyaknya problema kehidupan yang kita hadapi, dan menumpuknya kewajiban yang kita pikul - sehingga seorang muslim merasakan benar apa yang dikatakan oleh seorang juru da’wah bahwa kewajiban itu lebih banyak dari waktu yang tersedia - Tentu akan membuat lelah fisik, penat pemikiran dan ruhiyah. Sehingga banyak yang merindukan adanya hari ke delapan dan ke sembilan.
            Seseorang datang kepada Umar bin Khattab t lalu mengatakan: “tidakkah tuan beristirahat sejenak dari pekerjaan ini”. Beliau menjawab: bukan di sini tempat beristirahat, tapi tempat istirahat kita adalah di Akhirat”.
            Tidak ada yang lebih ampuh nasehatnya daripada nasehat yang diberikan jenazah dan batu nisan, oleh karenanya menghadirkan gambaran keadaan kita ketika maut menjelang adalah perbuatan yang sangat utama bagi orang yang menjadikan akhirat sebagai tujuannya.  
            Wallahu A’lam Bishshawab

            Jumat, 16 September 2011

            Bahaya Bicara Agama Tanpa Ilmu


            Memahami ilmu agama merupakan kewajiban atas setiap muslim dan muslimah. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:
            طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
            Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim. [HR. Ibnu Majah no:224, dan lainnya dari Anas bin Malik. Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani]
            Dan agama adalah apa yang telah difirmankan oleh Alloh di dalam kitabNya, Al-Qur’anul Karim, dan disabdakan oleh RosulNya di dalam Sunnahnya. Oleh karena itulah termasuk kesalahan yang sangat berbahaya adalah berbicara masalah agama tanpa ilmu dari Alloh dan RosulNya.
            Sebagai nasehat sesama umat Islam, di sini kami sampaikan di antara bahaya berbicara masalah agama tanpa ilmu:
            1.Hal itu merupakan perkara tertinggi yang diharamkan oleh Allah.
            Alloh Ta’ala berfirman:
            قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
            Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu)” (Al-A’raf:33)
            Syeikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz rohimahulloh berkata: “Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk perkara terbesar yang diharamkan oleh Allah, bahkan hal itu disebutkan lebih tinggi daripada kedudukan syirik. Karena di dalam ayat tersebut Alloh mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
            Dan berbicara tentang Alloh tanpa ilmu meliputi: berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-hukumNya, syari’atNya, dan agamaNya. Termasuk berbicara tentang nama-namaNya dan sifat-sifatNya, yang hal ini lebih besar daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang syari’atNya, dan agamaNya.” [Catatan kaki kitab At-Tanbihat Al-Lathifah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah Al-Wasithiyah, hal: 34, tahqiq Syeikh Ali bin Hasan, penerbit:Dar Ibnil Qayyim]
            2. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk dusta atas (nama) Allah.
            Allah Ta’ala berfirman:
            وَلاَ تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ
            Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS. An-Nahl (16): 116)
            3.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan kesesatan dan menyesatkan orang lain.
            Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:
            إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
            Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain. (HSR. Bukhari no:100, Muslim, dan lainnya)
            Hadits ini menunjukkan bahwa “Barangsiapa tidak berilmu dan menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan tanpa ilmu, dan mengqias (membandingkan) dengan akalnya, sehingga mengharamkan apa yang Alloh halalkan dengan kebodohan, dan menghalalkan apa yang Allah haramkan dengan tanpa dia ketahui, maka inilah orang yang mengqias dengan akalnya, sehingga dia sesat dan menyesatkan. (Shahih Jami’il Ilmi Wa Fadhlihi, hal: 415, karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, diringkas oleh Syeikh Abul Asybal Az-Zuhairi)
            4.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mengikuti hawa-nafsu.
            Imam Ali bin Abil ‘Izzi Al-Hanafi rohimahulloh berkata: “Barangsiapa berbicara tanpa ilmu, maka sesungguhnya dia hanyalah mengikuti hawa-nafsunya, dan Allah telah berfirman:
            وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللهِ
            Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun (Al-Qashshash:50)” (Kitab Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393)
            5.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mendahului Allah dan RasulNya.
            Allah berfirman:
            يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
            Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Hujuraat: 1)
            Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rohimahulloh berkata: “Ayat ini memuat adab terhadap Alloh dan RosulNya, juga pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan kepadanya. Alloh telah memerintahkan kepada para hambaNya yang beriman, dengan konsekwensi keimanan terhadap Alloh dan RosulNya, yaitu: menjalankan perintah-perintah Alloh dan menjauhi larangan-laranganNya. Dan agar mereka selalu berjalan mengikuti perintah Alloh dan Sunnah RosulNya di dalam seluruh perkara mereka. Dan agar mereka tidak mendahului Alloh dan RosulNya, sehingga janganlah mereka berkata, sampai Alloh berkata, dan janganlah mereka memerintah, sampai Alloh memerintah”. (Taisir Karimir Rahman, surat Al-Hujurat:1)
            6.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu menanggung dosa-dosa orang-orang yang dia sesatkan.
            Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu adalah orang sesat dan mengajak kepada kesesatan, oleh karena itu dia menanggung dosa-dosa orang-orang yang telah dia sesatkan. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam:
            مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
            Barangsiapa menyeru kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HSR. Muslim no:2674, dari Abu Hurairah)
            7.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu akan dimintai tanggung-jawab.
            Allah Ta’ala berfirman:
            وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
            Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. Al-Isra’ : 36)
            Setelah menyebutkan pendapat para Salaf tentang ayat ini, imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata: “Kesimpulan penjelasan yang mereka sebutkan adalah: bahwa Alloh Ta’ala melarang berbicara tanpa ilmu, yaitu (berbicara) hanya dengan persangkaan yang merupakan perkiraan dan khayalan.” (Tafsir Al-Qur’anul Azhim, surat Al-Isra’:36)
            8.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan.
            Syeikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami menyatakan: “Fashal: Tentang Haramnya berbicara tentang Allah tanpa ilmu, dan haramnya berfatwa tentang agama Allah dengan apa yang menyelisihi nash-nash”. Kemudian beliau membawakan sejumlah ayat Al-Qur’an, di antaranya adalah firman Allah di bawah ini:
            وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
            Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. 5:44)
            9.Berbicara agama tanpa ilmu menyelisihi jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
            Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rohimahulloh menyatakan di dalam aqidah Thahawiyahnya yang masyhur: “Dan kami berkata: “Wallahu A’lam (Allah Yang Mengetahui)”, terhadap perkara-perkara yang ilmunya samar bagi kami”. [Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393]
            10.Berbicara agama tanpa ilmu merupakan perintah syaithan.
            Allah berfirman:
            إِنَّمَا يَأْمُرُكُم بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَآءِ وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
            Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan kepada Allah apa yang tidak kamu ketahui. (QS. 2:169)
            Keterangan ini kami akhiri dengan nasehat: barangsiapa yang ingin bebicara masalah agama hendaklah dia belajar lebih dahulu. Kemudian hendaklah dia hanya berbicara berdasarkan ilmu. Wallohu a’lam bish showwab. Al-hamdulillah Rabbil ‘alamin.
             

            (c)2009 indahnya islam. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger