Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Alif lam mim. Ini adalah kitab yang tidak ada keraguan sama sekali padanya. Petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 2)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah telah mengungkapkan makna kata-kata laa raiba fiih ini di dalam tafsirnya, dengan suatu penafsiran yang sangat ilmiah, kuat, dan gamblang. Beliau rahimahullah berkata, “Makna kalimat ini dalam konteks ini adalah bahwasanya kitab ini yaitu al-Qur’an tidak ada keraguan padanya bahwa ia benar-benar turun dari sisi Allah.” “Sebagian ulama menjelaskan bahwa kalimat ini adalah berita yang mengandung larangan; maksudnya adalah janganlah kalian meragukan tentangnya.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/52])
al-Qur’an, sebuah kitab suci yang turun dari Allah, bukan produk pemikiran manusia ataupun buah proses kebudayaan yang mereka ciptakan. Ini adalah fakta yang tak terbantahkan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Turun membawanya ar-Ruh al-Amin/malaikat Jibril, dan diwahyukan kepada hatimu, agar kamu menjadi salah seorang pemberi peringatan.” (QS. asy-Syu’ara’: 193-194)
al-Qur’an ini datang dari sisi Allah, bukan hasil rekayasa otak seorang manusia, sesosok tokoh revolusi atau pujangga arab tempo dulu, sejenius dan sehebat apapun dia. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dia lah yang telah menurunkan kepadamu (Muhammad) Kitab itu…” (QS. Ali ‘Imran: 7). Allah ta’ala -dan Dia adalah sejujur-jujur pemberi perkataan- telah menegaskan (yang artinya), “Tidak datang kepadanya kebatilan, dari arah depan maupun dari arah belakang, itu adalah sesuatu yang diturunkan dari Dzat Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushshilat: 42)
Di dalam al-Qur’an itulah, Allah memberikan berbagai ketetapan hukum dari sisi-Nya -bukan dari sisi manusia- karena Allah lah Yang Maha Mengetahui segalanya, sebab Dia lah yang telah menciptakan Adam beserta keturunannya, begitu pula jin dan seluruh bagian jagad raya. Alaa ya’lamu man khalaq, wa huwal lathiiful khabiir. “Tidakkah Dia mengetahui, yaitu Dzat yang telah menciptakan itu semua, dan Dia adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Mulk: 14)
Oleh sebab itu Allah memberikan peringatan keras bagi orang-orang yang tidak mau mengakui hukum tuhan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah itu maka mereka itulah orang-orang kafir.” (QS. al-Maa’idah: 42). “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah itu maka mereka itulah orang-orang zalim.” (QS. al-Maa’idah: 45). “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah itu maka mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. al-Maa’idah: 47)
Pembaca yang budiman, sesungguhnya sekarang ini kita tidak sedang menghakimi seseorang atau sebuah pemikiran yang oleh para pencetusnya dianggap sebagai refleksi kebangkitan neo-modernisme atau pembaruan Islam dalam pandangan mereka. Apa yang ingin kita kritisi di sini adalah dampak sebuah pemikiran -sebenarnya lebih layak disebut sebagai pembodohan- yang pada hakikatnya tidak pantas untuk didiskusikan dalam wacana ilmu Islam baik di masa dahulu maupun sekarang, apalagi untuk dikembangkan dan diajarkan di berbagai institusi pendidikan. Namun, kenyataannya tidak sedikit orang yang tertipu bahkan menikmati kerancuan ini. Mereka lebih suka larut dalam buaian slogan palsu aktualisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam, meskipun harus menempuh cara-cara yang keji dan tak malu-malu lagi untuk merusak kehormatan kitab suci.
Tepat sekali, anda tentu bisa menebaknya. Siapa gerangan yang kini sedang kita bicarakan. Mereka tidak lain adalah sebuah kelompok yang merasa paling benar dan paling canggih dalam menafsirkan teks-teks keislaman serta paling bisa menjawab tantangan jaman. Dengan berbagai gaya pengungkapan dan terkadang disembunyikan dengan sedikit rasa malu, mereka telah menobatkan dirinya sebagai panglima ijtihad dan generasi pembebas umat dari belenggu taklid yang menghinggapi mayoritas umat Islam dewasa ini, sebagaimana yang mereka kira. Inilah misi usang yang mereka perjuangkan.
Sesungguhnya bagi mereka, kitab suci -dalam artian yang sesungguhnya- sudah tidak ada. Yang ada adalah teks masa lalu, sebuah produk budaya (muntaj tsaqafi) yang halal dan bahkan mustahab (dianjurkan) untuk direinterpretasikan oleh siapa saja; bahkan dengan metode buatan musuh-musuh Islam sekalipun! Jaringan Islam Liberal (JIL) !!! Itulah rupanya gerakan pengacau keagamaan yang tak henti-hentinya menebar kerisauan dan kegelisahan di tengah-tengah kehidupan umat Islam di tanah air.
Tentu saja apa yang dilakukan oleh JIL bersama sekutu-sekutunya (baca: firqah-firqah sesat) meresahkan hati umat Islam, terkhusus para ulama dan cendekiawan muslim dari berbagai lapisan masyarakat. Wajarlah jika kemudian muncul berbagai tanggapan negatif dari umat Islam atas keganjilan dan kelancangan JIL -dengan beraneka ragam wajah dan rupa- dalam mengkritisi nash-nash/dalil-dalil agama. Bagi JIL, hal itu -mengkritisi dan mempertanyakan firman Allah dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah sesuatu yang biasa dan sah-sah saja.
Bagi JIL agama tak ubahnya suatu organisme atau makhluk hidup yang berkembang dan berubah dari jaman ke jaman menuju tingkat kedewasaan. Dan konsekuensi dari cara berpikir semacam ini -entah mereka lupa atau pura-pura tidak tahu- adalah para pemeluk agama ini (baca: umat Islam) kelak harus menerima kenyataan sangat pahit bahwa agama yang telah mereka yakini selama ribuan tahun akan mengalami kepikunan dan pada akhirnya harus mati! Mungkin itulah sebenarnya yang dicita-citakan oleh musuh-musuh Islam penggagas pluralisme dan liberalisasi ajaran Islam.
Sebab, sebagaimana yang sering dilontarkan oleh Ulil (koordinator JIL), bahwa ‘Islam’ yang dia bawa adalah islam yang tidak mengenal adanya tembok pembatas antara ‘kita’ (umat Islam) dengan ‘mereka’ (non Islam). Sebuah pemahaman Islam yang tidak lagi mengenal konsep pengkafiran; karena semua agama -dalam pandangan mereka- adalah benar dan tepat di jalannya masing-masing. Dengan bahasa yang sederhana, sebenarnya Ulil dan teman-temannya ingin meracuni akal kita dengan sebuah logika berpikir yang sesungguhnya menunjukkan kebodohan dalam memahami takdir dan kehendak-Nya.
Logika berpikir mereka itu adalah; karena Allah yang telah menciptakan agama-agama itu (baca: pluralisme) dan menghendaki mereka ada di muka bumi ini, lantas mengapa kita harus mempermasalahkan keyakinan mereka terhadap agamanya. Justru, kitalah yang seharusnya mempertanyakan keyakinan yang selama ini dianut oleh umat ini (bahwa Islam satu-satunya agama yang benar). Sebab, seandainya Allah tidak ‘mencintai’ agama-agama itu sungguh tidak masuk akal dan tidak bijaksana apabila Dia ‘membiarkan mereka’ bebas hidup dan menjaring sekian banyak pengikut dengan mengatasnamakan tuhan. Kalau agama-agama lain bisa menerima kritik, mengapa agama kita tidak?! Inilah inti logika berpikir (baca: kerancuan) yang bisa kita simpulkan dari berbagai produk pemikiran yang mereka hembuskan. Cara berpikir semacam itulah yang ingin dikembangkan dan disebarluaskan oleh JIL dengan seluruh daya dan kekuatan mereka. “Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, sedangkan Allah enggan melainkan menyempurnakan cahaya-Nya. Meskipun orang-orang kafir tidak suka.”
Sebenarnya, sebagaimana sudah kita singgung di depan, apa yang mereka lontarkan adalah tindak pembodohan dan kemalasan berpikir itu sendiri. Sesuatu yang Ulil dan rekan-rekannya berusaha lari darinya namun mereka justru terjebak berkali-kali di dalamnya. Suatu ekspresi kebingungan yang tidak selayaknya seorang yang berakal apalagi seorang muslim terpengaruh oleh hal-hal seperti ini.
Berangkat dari pola berpikir yang kacau semacam itulah muncul berbagai gagasan untuk merevisi ajaran Islam dan meninjau ulang tatanan agama yang sudah baku dan mapan. Muncullah gagasan untuk menerbitkan al-Qur’an edisi kritis. Tidak hanya itu, bahkan praktek perkawinan sejenis pun mereka halalkan dengan dalih bahwa hal itu adalah sesuatu yang wajar secara genetis dan bagian dari sikap menunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan. Begitu pula masalah jilbab, yang menurut mereka tidak lebih daripada ekspresi budaya arab yang bersifat sementara dan tidak universal. Sehingga menurut mereka, batasan jilbab sebenarnya adalah kepantasan menurut adat setempat. Muncul pula penolakan terhadap berbagai hukum syari’at dengan anggapan bahwa hukum-hukum itu tidak lagi relevan dengan jaman dan bertentangan dengan semangat dasar Islam -menurut mereka- yaitu pembebasan. Bahkan, menurut Ulil, hukum tuhan itu tidak ada. Kebebasan telah menjelma menjadi dewa dan berhala yang dipuja-puja oleh mereka.
Kaidah para ulama pun mereka plesetkan demi memuluskan niat mereka. Misalnya, ungkapan hifzhud din dan hifzhul ‘aql -yang artinya adalah memelihara agama (Islam) dan menjaga akal- yang termasuk dalam cakupan maqashid syari’ah (tujuan-tujuan pokok syari’at) pun mereka selewengkan artinya menjadi ‘kebebasan beragama’ dan ‘kebebasan berpikir’ alias liberalisme dan pluralisme yang mereka eluk-elukkan. Orang Jawa biasa menyebut tingkah mereka ini sebagai dagelan (lelucon). Namun sayangnya, dagelan ini tidak lucu, bahkan mengenaskan! Sebagaimana para pendahulu mereka penyeru kebebasan -dari kalangan Sosialis Komunis- yang konon katanya pernah mementaskan ketoprak dengan judul Patine Gusti Allah (kematian tuhan) dan pada akhirnya lakon yang memainkan peran sebagai tuhan pun benar-benar mati di atas panggung. Subhanallah! Adakah pelecehan terhadap agama yang lebih keji dan lebih kotor daripada cara-cara semacam ini?!
Supaya anda tidak mengira bahwa apa yang telah diungkapkan di atas sekedar omong kosong tanpa bukti, berikut ini akan kami bawakan tulisan-tulisan mereka sendiri yang berusaha mengkritisi -kalau tidak mau dikatakan mengingkari- al-Qur’an dan ajaran-ajarannya. Ini semua akan menunjukkan kepada kita sejauh mana gerakan pemikiran ini telah berusaha menanamkan benih-benih pluralisme dan liberalisasi Islam kepada kaum muslimin. Dan yang sangat perlu diwaspadai oleh kita bersama adalah bahwasanya yang menjadi target utama serangan pemikiran ini adalah para generasi muda penerus bangsa, terkhusus lagi kalangan terpelajar yang duduk di bangku-bangku perguruan tinggi di berbagai penjuru negeri. Aduhai, andaikata kaumku mengetahui…
1. Menganggap al-Qur’an Sebagai Produk Budaya
Dalam situs Islam Liberal, Ahmad Fuad Fanani menulis, “Al-Qur’an sebagai sebuah teks, menurut Nasr Hamid Abu Zayd, pada dasarnya adalah produk budaya. (Tekstualitas Al-Qur’an, 2000) Hal ini dapat dibuktikan dengan rentang waktu terkumpulnya teks Al-Qur’an dalam 20 tahun lebih yang terbentuk dalam realitas sosial dan budaya. Oleh karena itu, perlu adanya dialektika yang terus-menerus antara teks (Al-Qur’an) dan kebudayaan manusia yang senantiasa berkembang secara pesat. Jika hal ini tidak dilakukan, maka teks Al-Qur’an akan hanya menjadi benda atau teks mati yang tidak berarti apa-apa dalam kancah fenomena kemanusiaan.” (lihat artikelnya yang berjudul Metode Hermeneutika Untuk Al-Qur’an yang dimuat oleh situs resmi JIL)
2. Mempertanyakan Relevansi Firman Allah dan Hadits Nabi
Ulil berkata, “Teks Quran dan sunnah harus dibaca dalam konteks tantangan yang dihadapi oleh umat Islam sekarang. Jika ada ajaran dan doktrin dalam kedua sumber itu yang tak relevan dengan keadaan sekarang, maka kita tak boleh segan-segan untuk melakukan penafsiran ulang. Slogan kaum salafiyyah, bahwa tak ada ijtihad jika sudah ada jawaban yang eksplisit dalam teks agama (la ijtihada fi mahall al-nass), menjadi tak relevan. Ijtihad justru dan tetap diperlukan walaupun sudah ada teks yang jelas. Tantangan yang kita hadapi adalah menjawab pertanyaan pokok: apakah teks yang ada itu masih relevan dengan keadaan sekarang atau tidak.” (lihat Merekonstruksi Kembali Gerakan Salafiyyah, artikel Ulil di situs pribadinya yang diposting tanggal 27-8-2008)
Tokoh JIL yang lain Abdul Moqsith Ghazali berkata, “Kita mesti memilah-milih antara teks yang relevan dan yang tak relevan. Kita tak bisa mengawetkan tafsir-tafsir lama yang cenderung menistakan perempuan dan umat agama lain. Kita tak mungkin mempertahankan pandangan ulama yang melarang perempuan menjadi pejabat publik atau menghalalkan penumpahan darah umat agama lain. Tafsir yang demikian tak boleh mendominasi percakapan intelektual kita hari ini. Betapun canggihnya sebuah pemikiran jika berujung pada tindak kekerasan, maka ia batal dengan sendirinya. Karena itu, sekiranya mungkin, kita perlu mencari tafsir lama lain yang lebih mengapresiasi perempuan dan menghargai umat lain. Jika tak mungkin, kita seharusnya memproduksi tafsir baru yang memanusiakan kaum perempuan dan menghargai umat non-Muslim.” (lihat makalah ceramahnya yang berjudul Menegaskan Kembali Pembaruan Pemikiran Islam yang dimuat di situs resmi JIL)
3. Kesetiaan Terhadap Dalil Disebut Sebagai Taklid Gaya Baru
Ulil berkata, “Masyarakat kita saat ini tampaknya sedang hidup dalam era taklid baru. Dulu semangat yang menonjol dalam gerakan salafiyyah adalah mendobrak tradisi bermazhab dengan cara mengkritik praktek taklid. Saat ini, kita menyaksikan praktek taklid baru yang jauh lebih ‘menakutkan’, sebab taklid di sana dilakukan atas nama kembali kepada Quran dan sunnah sehingga seolah-olah memiliki wibawa suci yang kedap atas kritik.” (lihat Merekonstruksi Kembali Gerakan Salafiyyah, artikel Ulil di situs pribadinya yang diposting tanggal 27-8-2008)
4. Tidak Memahami Inti Ajaran Islam
Seorang mahasiswa UNSYIAH Banda Aceh Muhammad Mirza Adi, menuturkan, “Secara garis besar, inti dari ajaran Islam ada dua, yaitu mencintai satu Tuhan dengan segenap hati dan mencintai sesama manusia tanpa memandang agama, ras, serta latar belakang budaya sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri. Karena itu, tidak pernah sempurna iman seorang muslim kepada Allah sebelum dia mencintai orang lain layaknya ia mencintai dirinya sendiri.” (lihat artikelnya yang berjudul Tiga Pilar Kebebasan Beragama yang dimuat oleh situs resmi JIL)
Ahmad Wahib -salah satu tokoh penggagas pluralisme bersama Nurcholish Madjid dan lain-lain- memberikan pengakuan yang sangat jujur dalam catatan hariannya, “Aku belum tahu apakah Islam itu sebenarnya. Aku baru tahu Islam menurut Hamka, Islam menurut Natsir, Islam menurut Abduh, … Islam menurut yang lain-lain. Terus terang, Aku tidak puas. Yang kucari belum ketemu, belum kudapat, yakni Islam menurut Allah, pembuatnya. Bagaimana? Langsung dari studi al Quran dan Sunnah? Akan kucoba. Tapi, orang-orang lain pun beranggapan bahwa yang kudapat itu adalah Islam menurut Aku sendiri. Tapi biar, yang penting adalah keyakinan dalam akal sehatku bahwa yang kupahami adalah Islam menurut Allah. Aku harus yakin itu!” (lihat artikel berjudul Mencari Islam Kontekstual: Menggumuli Spirit Ahmad Wahib (Refleksi Seorang Muallaf) ditulis oleh Sunlie Thomas Alexander sebagaimana tercantum dalam buku Pembaruan Tanpa Apologia, hal. 50-51)
5. Meragukan Keotentikan al-Qur’an
Editor JIL sekaligus dosen Paramadina yang bernama Luthfi Asysyaukanie mengatakan,” Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa Alquran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan Alquran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik, dan rekayasa. Alquran dalam bentuknya yang kita kenal sekarang sebetulnya adalah sebuah inovasi yang usianya tak lebih dari 79 tahun.” (lihat artikelnya yang berjudul Merenungkan Sejarah Alquran yang dimuat oleh situs resmi JIL)
Meskipun demikian, Luthfi tidak ingin mengesankan bahwa dirinya meragukan bahwa al-Qur’an merupakan kalamullah. Oleh sebab itu dia mengatakan, “Saya cenderung meyakini bahwa Alquran pada dasarnya adalah kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi tapi kemudian mengalami berbagai proses “copy-editing” oleh para sahabat, tabi’in, ahli bacaan, qurra, otografi, mesin cetak, dan kekuasaan. Proses-proses ini pada dasarnya adalah manusiawi belaka dan merupakan bagian dari ikhtiyar kaum Muslim untuk menyikapi khazanah spiritual yang mereka miliki. Saya kira, varian-varian dan perbedaan bacaan yang sangat marak pada masa-masa awal Islam lebih tepat dimaknai sebagai upaya kaum Muslim untuk membebaskan makna dari kungkungan kata, ketimbang mengatribusikannya secara simplistis kepada Tuhan. Seperti dikatakan seorang filsuf kontemporer Perancis, teks—dan apalagi teks-teks suci—selalu bersifat “repressive, violent, and authoritarian.” Satu-satunya cara menyelamatkannya adalah dengan membebaskannya.” (lihat artikelnya yang berjudul Merenungkan Sejarah Alquran yang dimuat oleh situs resmi JIL)
Berbeda dengan pendahulunya Ahmad Wahib yang secara berani meyakini bahwa al-Qur’an bukan kalamullah. Sunlie Thomas Alexander menulis, “Al-Quran bagi Wahib bukan kalam Allah. “Dengan mengidentikkan al-Qur’an dengan kalam Allah, justru kita telah menghina Allah, merendahkan Allah dan kehendak-kehendakNya… (sebab) Dia adalah ‘yang tak terucapkan’.. Dia dan kalamNya adalah Dia yang tersembunyi bagi potensi dan ekspresi akal budi kita… Dia menemui manusia dalam akal budi dan iman manusia, tapi Dia sendiri jauh lebih agung daripada akal budi dan iman itu sendiri…” Tulis Wahib dalam catatan 15 September 1971 (lihat artikel Mencari Islam Kontekstual: Menggumuli Spirit Ahmad Wahib (Refleksi Seorang Muallaf) dalam buku Pembaruan Tanpa Apologia, hal. 35)
6. Meragukan Kebenaran Islam dan Meremehkan Tauhid
Seorang mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis IAIN Walisongo Semarang bernama Muhammad Zubair Hasan menulis dalam situs Islam Liberal, “Dalam tataran eksklusif, kalau ditanya agama mana yang paling benar, sebagai umat Islam tentu kita akan mengatakan kalau agama kitalah yang paling benar. Umat dari agama lain pun akan mengatakan hal yang sama kalau diberi pertanyaan serupa. Umat Kristen akan mengatakan Kristenlah yang paling benar, dan seterusnya. Tapi dalam tatanan inklusif, ketika kita hidup dalam suatu masyarakat yang kompleks, yang di dalamnya terdapat berbagai jenis masyakat berbeda agama yang menjadi satu kesatuan menjadi sebuah kelompok sosial, truth claim terhadap agama masing-masing harus dihilangkan. Pada saat berada dalam posisi tersebut, kita harus mengakui agama lain sebagai agama yang benar. Tetapi walapun begitu, bukan berarti Islamlah agama yang paling selamat. Tak ada jaminan orang Islam akan masuk surga kelak, karena memasukan seseorang ke dalam surga adalah hak prerogatif Allah. Allah milik semua umat manusia. Setiap umat manusia, apapun agama mereka, berhak memasuki surga yang telah Allah janjikan bagi setiap manusia yang melakukan kebaikan.” (lihat artikelnya yang berjudul Memeluk Islam Bukan Garansi Keselamatan yang dimuat oleh situs resmi JIL)
Mahasiswa tersebut juga mengatakan tanpa malu-malu, “Apabila Allah hanya milik orang Islam sehingga hanya mereka yang akan mendapat kenikmatan surga di akhirat kelak, lalu dimana letak keadilan-Nya sebagai Tuhan? Apakah bisa dikatakan adil kalau ada orang yang beragama Islam yang selalu membuat kerusuhan dan kejahatan di dunia bisa masuk Surga, sementara ada orang yang tak pernah melakukan sesuatu, kecuali hal tersebut adalah suatu kebajikan, dalam setiap nafas kehidupannya kelak akan mendapat siksa-Nya di akhirat, hanya karena Islam tidak menjadi agama pilihannya ketika hidup di dunia. Kalau kita mempercayai hal tersebut, berarti secara tidak langsung kita telah melanggar agama kita sendiri dengan tidak percaya pada keadilan Allah.” (lihat artikelnya yang berjudul Memeluk Islam Bukan Garansi Keselamatan yang dimuat oleh situs resmi JIL)
Sekali lagi, dia ingin menyatakan pemikirannya yang amat kacau. Dia mengatakan, “Islam memang agama terakhir, agama penyempurna dari agama-agama yang telah ada sebelumnya. Tapi masuk Islam tidak bisa dijadikan jaminan utama untuk mencapai keselamatan akhirat, tidak juga dengan membaca dan mempercayai bahwa al-Qur’an adalah kitab yang membawa risalah terakhir Tuhan. Keselamatan akan didapat dengan menjalankan apa yang al-Qur’an sampaikan. Dan inti dari al-Qur’an ajarkan adalah al amru bi al-ma’ruf wa an-nahyu ‘an al-munkar. Tidak ada yang mengetahui apa rencana dan apa yang diinginkan Tuhan. Tetapi yang jelas, bukan Islam yang akan selamat, tetapi orang yang melaksanakan ajaran suatu agama yang mengajarkan segala bentuk kebaikan dan melarang kemungkaran yang akan selamat dan mendapatkan ridho-Nya. Bahkan seorang pelacur bisa masuk surga karena telah memberi minum seekor anjing yang hampir mati kehausan.” (lihat artikelnya yang berjudul Memeluk Islam Bukan Garansi Keselamatan yang dimuat oleh situs resmi JIL)
7. Memuja Akal, Memakai Hadits Lemah, dan Menyelewengkan Istilah
Abdul Moqsith Ghazali berkata, “Akal yang dimiliki manusia merupakan anugerah Allah paling berharga. Ia tak hanya berguna untuk mencapai pemahaman yang mendalam tentang yang baik dan yang buruk, tapi juga untuk menafsirkan kitab suci. Tanpa akal, kitab suci tak mungkin bisa dipahami. Menurut Ibn Rushd, dalam agama, akal berfungsi untuk menakwilkan kitab suci ketika teks kitab suci tak bisa dikunyah akal sehat. Sebuah hadits menyebutkan, “al-din aql la dina li man la aqla lahu” [agama itu adalah akal, tak ada agama bagi orang yang tak berakal]. Maka benar ketika para ulama menyepakati bahwa kebebasan berfikir (hifdzl al-‘aql) termasuk salah satu pokok ajaran Islam (maqashid al-syariah). Dengan demikian seharusnya Islam lekat dengan kebebasan berfikir.” (lihat makalahnya Menegaskan Kembali Pembaruan Pemikiran Islam yang dimuat di situs resmi JIL)
Dalam rangka membela penafsiran liberal yang mereka tawarkan, Ulil mengatakan dengan nada penuh percaya diri, “Ciri lain dalam demokratisasi penafsiran: terkikisnya kecenderungan untuk menganggap bahwa tafsir yang berbeda secara mendasar dengan tafsir ortodoks sebagai tafsir sesat. Tradisi menyesatkan tafsir yang berbeda harus digantikan dengan tradisi lain yang lebih demokratis, yaitu dialog antar penafsiran yang berbeda. Sebutan yang pas untuk tafsir yang bertentangan dengan tafsir dominan bukan “tafsir sesat” tetapi “tafsir yang berbeda”. Konsep atau etos yang perlu dikembangkan bukan ethos of deviation, sebaliknya ethos of difference. Yang perlu dikembangkan adalah cara pandang yang melihat tafsir yang tidak sama sebagai tafsir berbeda, bukan tafsir menyimpang. Hanya dengan cara seperti inilah kita bisa mengembangkan tradisi pemikiran dan kehidupan keagamaan yang sehat di masa mendatang.” (lihat artikelnya yang berjudul Tentang Penafisran Quran dan Demokratisasi Tafsir, dimuat dalam situs pribadinya tanggal 9-7-2010)
Inilah bukti-bukti nyata yang menunjukkan bahwa sebenarnya pemikiran yang diusung oleh JIL hanyalah pembodohan, bahkan suatu bentuk pelecehan terhadap Islam dan al-Qur’an.
0 komentar:
Posting Komentar