Alhamdulillah. Segala puji hanya milik Allah, Rabb yang memberikan hidayah demi hidayah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga akhir zaman. Manusia di berbagai negeri sangat antusias menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga walaupun sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu pergantian tahun. Namun bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya diperbolehkan? Semoga artikel yang singkat ini bisa menjawabnya.
Selasa, 25 Desember 2012
Bolehkah Menerima Kue dan Hadiah Natal?
Merayakan natal jelas suatu hal yang terlarang bagi umat Islam. Begitu pula mengucapkan selamat, juga terlarang. Seorang muslim pun tidak boleh menghadiri acara natal dan tidak boleh mendukung dalam hal apa pun dalam perayaan tersebut. Lantas bagaimana jika tetangga atau rekan kerja kita memberi kue, makanan atau hadiah yang berhubungan dengan perayaan natal? Apakah boleh kita terima dan menikmatinya?
Komisi Fatwa di Kerajaan Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ ditanya, “Bolehkah seorang muslim memakan makanan dari perayaan ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) atau dari perayaan orang musyrik di hari raya mereka atau menerima pemberian yang berhubungan dengan hari raya mereka?”
Alasan Terlarangnya Mengucapkan Selamat Natal bagi Muslim
Mungkin tidak lama lagi, akan terdengar, akan terpampang tulisan yang dibaca “Merry Christmas”, atau yang artinya Selamat Hari Natal. Dan biasanya, momen ini disandingkan dengan ucapan Selamat Tahun Baru.
Sebagian orang menganggap ucapan semacam itu tidaklah bermasalah, apalagi yang yang berpendapat demikian adalah mereka orang-orang kafir. Namun hal ini menjadi masalah yang besar, ketika seorang muslim mengucapakan ucapan selamat terhadap perayaan orang-orang kafir.
Dan ada juga sebagian di antara kaum muslimin, berpendapat nyeleneh sebagaimana pendapatnya orang-orang kafir. Dengan alasan toleransi dalam beragama!? Toleransi beragama bukanlah seperti kesabaran yang tidak ada batasnya. Namun toleransi beragama dijunjung tinggi oleh syari’at, asal di dalamnya tidak terdapat penyelisihan syari’at. Bentuk toleransi bisa juga bentuknya adalah membiarkan saja mereka berhari raya tanpa turut serta dalam acara mereka, termasuk tidak perlu ada ucapan selamat.
Minggu, 16 Desember 2012
Permasalahan Khilafiyah Tidak Perlu Diingkari, Benarkah?
Sebagian orang beralasan, kalau
ada masalah khilaf yang ada perselisihan para ulama, maka tidak perlu
diingkari. Biarkanlah, biar umat Islam bersatu. Biar orang kafir pun
tahu bahwa umat Islam tidak terpecah belah.
Pernyataan bahwa masalah khilafiyah tidak perlu diingkari tidaklah tepat. Yang tepat kita katakan,
لا إنكار في مسائل الاجتهاد
“Tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihadiyah”
Memejamkan Mata Saat Shalat
Fatwa Syaikh ‘Abdul Karim Al Khudair hafzihohullah
Soal:
Apakah ketika sujud mata dalam keadaan dipejam atau mesti dibuka?
Jawab:
Asalnya, mata dalam keadaan
terbuka baik ketika sujud dan keadaan lainnya dalam shalat. Sebagian
ulama mengatakan bahwa disunnahkan untuk memejamkan kedua mata karena
hal itu lebih mudah mendatangkan khusyu’. Namun hal itu cuma was-was
saja dalam shalat dan tidak ada dalil pendukung. Perlu diketahui bahwa
Yahudi biasa memejamkan mata dalam shalat mereka. Kita diajarkan tidak
mengikuti jejak mereka (kita dilarang tasyabbuh).[1]
(Sumber fatwa di website pribadi Syaikh ‘Abdul Karim Khudair: http://www.khudheir.com/text/4112)
* Syaikh ‘Abdul Karim Al Khudair
adalah ulama senior di Saudi Arabia, berdomisi di kota Riyadh. Beliau
adalah anggota Hai-ah Kibaril Ulama dan menjadi pengajar di kuliah
hadits Jami’ah Malik Su’ud (King Saud University), Riyadh Saudi Arabia.
—
Riyadh, KSA, 22 Muharram 1434 H
Penerjemah: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber : Muslim.Or.Id
Dan Jika Aku Sakit, Dialah yang Menyembuhkanku
Sesuatu
yang tidak akan dipungkiri siapa pun adalah kehidupan ini tidak hanya
dalam satu keadaan. Ada senang, ada duka. Ada canda, begitu juga tawa.
Ada sehat, namun juga adakalanya sakit. Dan semua ini adalah sunnatullah yang mesti dihadapi orang manapun.
Di
antara hal yang paling menarik dalam hal ini adalah di mana seorang
manusia menghadapi ujian berupa sakit. Tentu keadaan sakit ini lebih
sedikit dan sebentar dibanding keadaan sehat. Yang perlu diketahui oleh
setiap muslim adalah tidaklah Allah menetapkan (mentaqdirkan) suatu
taqdir melainkan di balik taqdir itu terdapat hikmah, baik diketahui
ataupun tidak. Dengan demikian, hati seorang muslim harus senantiasa
ridho dan pasrah kepada ketetapan Rabb-nya.
Saat
seseorang mengalami sakit, hendaknya ia menyadari bahwa Rasulullah ﷺ
yang merupakan manusia termulia sepanjang sejarah juga pernah
mengalaminya.
Rabu, 05 Desember 2012
Hukum MLM
Pemasaran berjenjang (bahasa Inggris: multi level marketing atau MLM) adalah sistem penjualan yang memanfaatkan konsumen sebagai tenaga penyalur secara langsung. Harga barang yang ditawarkan di tingkat konsumen adalah harga produksi ditambah komisi yang menjadi hak konsumen karena secara tidak langsung telah membantu kelancaran distribusi.
Ada beberapa fatwa ulama yang penulis sarikan yang menjelaskan mengenai hukum MLM yang sebenarnya. Ada sebagian ulama yang memberikan penjelasan syarat-syarat dan gambaran bagaimana MLM bisa masuk kategori halal.
Pertama: Fatwa Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa di Kerajaan Saudi Arabia) tentang MLM yang Terlarang
Dalam fatwa Al Lajnah Ad Daimah no. 22935 tertanggal 14/3/1425 H menerangkan mengenai MLM yang terlarang terhimpun berbagai permasalahan berikut:
Neraka Haram Bagi Yang Mengucapkan “Laa Ilaha Illallah”
Mengucapkan kalimat laa ilaha illallah begitu mudahnya di lisan. Namun sebenarnya tidak cukup seperti itu. Karena mengucapkannya tanpa diiringi keyakinan, mengucapkan tapi malah gemar mewariskan kesyirikan, tentu tiada manfaat. Kalimat tersebut baru bermanfaat ketika diyakini maknanya, diucapkan lalu dijalankan konsekuensinya dengan mentauhidkan Allah dan menjauhi perbuatan syirik.
Dalam hadits muttafaqun ‘alaih, dari ‘Itban bin Malik bin ‘Amr bin Al ‘Ajlan Al Anshari, Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam bersabda,
فَإِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ
“Sesungguhnya Allah mengharamkan dari neraka, bagi siapa yang mengucapkan laa ilaha illallah (tiada sesembahan yang benar disembah selain Allah) yang dengannya mengharap wajah Allah” (HR. Bukhari no. 425 dan Muslim no. 33).
Kisah Perginya Rasullah Ke Syam Bersama Abu Thalib
Ketika Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam masih kecil (dan belum menjadi Nabi), ia ikut pergi bersama pamannya, Abu Thalib, dan para pembesar kaum Quraisy dalam suatu perjalanan menuju Syam. Sebagian ulama mengatakan bahwa itu ketika beliauShallallahu’alaihi Wasallam berusia 12 tahun, dan sebagian lagi berpendapat beberapa tahun lebih tua itu.
Diriwayatkan dari Al Fadhl bin Sahl Abul Abbas Al A’raj Al Baghdadi ia berkata, Abdurrahman bin Ghazwan Abu Nuh menuturkan kepadaku, Yunus bin Abi Ishaq mengabarkan kepadaku, dari Abu Bakr bin Abi Musa, dari Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu’anhu, ia berkata: